Peranan asuransi dalam
pembangunan nasional tidak hanya dapat dilihat dari jumlah dana yang dapat
di”himpun” dari masyarakat, tetapi juga dari banyaknya pembayaran klaim yang
dilakukan oleh perusahaan asuransi.
Beberapa karakteristik dari akuntansi perusahaan asuransi kerugian antara lain:
1. Penentuan beban tidak dapat sepenuhnya dihubungkan dengan
pendapatan premi, karena timbulnya beban klaim tidak selalu bersamaan dengan
pengakuan pendapatan premix.
2. Laporan laba rugi sangat dipengaruhi oleh unsur estimasi,
misalnya: estimasi mengenai besarnya premi yang belum merupakan pendapatan
(unearned premium income) dan estimasi mengenai besarnya klaim yang menjadi
beban pada periode berjalan (estimasi klaim tanggungan sendiri).
3. Perusahaan asuransi harus memenuhi ketentuan pemerintah dalam
hal batas tingkat solvabilitas (solvency margin).
Menurut
Undang-Undang No. 2 Tahun 1992, yang dimaksud dengan asuransi atau
pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak
penanggung mengikatkan diri pada tertanggung, dengan menerima premi asuransi
untuk memberikan penggantian pada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau
kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak
ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa
yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas
meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan. Agar suatu kerugian
potensial (yang mungkin terjadi) dapat diasuransikan (insurable) maka harus
memiliki karakteristik:
1) terjadinya kerugian mengandung
ketidakpastian,
2) kerugian harus dibatasi,
3) kerugian harus signifikan,
4) rasio kerugian dapat terprediksi
dan
5) kerugian tidak bersifat
katastropis (bencana) bagi penanggung.
Konvergensi PSAK ke IFRS
Dewan Standar
Akuntansi Keuangan-Ikatan Akuntan Indonesia (DSAK-IAI) menggelar pemaparan
publik atau public hearing draft standar akuntansi baru yang berkaitan dengan
industri asuransi. Rangkaian public hearing ini merupakan proses konvergensi
IFRS yang dilakukan oleh IAI dan ditargetkan selesai pada tahun 2012. ED PSAK
62 mengadopsi standar akuntansi internasional IFRS 4 yang bersifat prinsip atau
principle based. Dengan mengadopsi IFRS 4 maka standar akuntansi Indonesia yang
mengatur perusahaan asuransi yakni PSAK 28 dan PSAK 36 direvisi agar tidak bertentangan
dengan IFRS 4.
Keputusan DSAK saat ini adalah
mendekatkan PSAK dengan IAS/IFRS dengan membuat dua strategi:
1. Strategi selektif.
Strategi ini
dilakukan dengan tiga target yaitu; mengidentifikasi standar-standar yang
paling penting untuk diadopsi seluruhnya dan menentukan batas waktu penerapan
standar yang diadopsi, melakukan adopsi standar selebihnya yang belum diadopsi
sambil merevisi standar yang telah ada, dan target terakhir adalah melakukan
konvergensi proses penyusunan standar dengan IASB.
2. Strategi dual standard.
Strategi ini
dilakukan dengan menerjemahkan seluruh IFRS sekaligus dan menetapkan waktu
penerapannya bagi listed companies. Sedangkan bagi non listed companies tetap menggunakan
PSAK yang telah ada.
Dalam penerapan kedua strategi
tsb harus mempertimbangkan lima hal:
1. Konvergensi standar dan proses konvergensi itu sendiri, Hal ini perlu
dipertimbangkan karena DSAK belum memutuskan kapan melakukan konvergensi.
2. Ketersediaan dana untuk penerjemahan standar.
3. Ketersediaan sumber daya manusia.
4. Ketentuan perundang-undangan di Indonesia.
5. Sosialisasi standar dan peluang moral hazards dalam penyusunan
laporan keuangan.
Terdapat beberapa hambatan yang
masih dihadapi:
1. Masih adanya ketidaksesuaian standar di beberapa negara dengan
ketentuan IFRS yang signifikan (seperti aturan tentang instrumen keuangan dan
standar pengukuran berdasar fair value accounting)
2. Masih terdapat perbedaan kepentingan antara IFRS yang berorientasi
pada capital market dengan standar akuntansi negara-negara yang berorientasi
pada ketentuan perpajakan (tax-driven).
3.
Berbagai aturan yang kompleks
dalam IFRS dianggap sebagai hambatan bagi sebagian negara untuk melakukan
konvergensi.
4. Masih terdapat gap yang cukup besar antara IFRS dengan standar
akuntansi nasional yang diterapkan untuk perusahaan kecil dan menengah (UKM).
Contoh Kasus yang Terjadi :
Berdasarkan data Asosiasi
Asuransi Jiwa Indonesia, kontribusi pendapatan premi industri asuransi jiwa pada
2010 telah didominasi produk unitlinked yang mencapai Rp 44,73 triliun atau
58,87% dari total pendapatan premi sebesar Rp 75,98 triliun. Pada 2010,
pendapatan premi yang dibukukan perusahaan asuransi jiwa dari produk
konvensional hanya Rp 31,25 triliun atau 41,13% dari total kontribusi premi.
Kontribusi ini berubah dibandingkan tahun sebelumnya, di mana unitlinked hanya
memberikan kontribusi 35,69% atau sebesar Rp 21,5 triliun dari total pendapatan
premi Rp 60,24 triliun. Pendapatan premi dari produk asuransi konvensional pada
2009 tercatat 64,29% atau Rp 38,73 triliun.Pendapatan premi dari produk
asuransi unitlinked pada 2010 jugatumbuh 108%. Pada tahun 2009, pendapatan
premi dari produk asuransi unitlinked meningkat 55,22% dari 2008 yang hanya Rp
13,85 triliun. Sementara itu, pendapatan premi dari produk konvensional pada
2010 turun 19,3%. Hary Prasetyo, Direktur Keuangan PT Asuransi Jiwasraya
(Persero), perusahaan asuransi jiwa skala besar milik pemerintah, mengatakan
aturan PSAK yang akan diterapkan tahun depan akan menahan minat perusahaan
memperbesar produk unitlinked. Perusahaan berencana mengeluarkan produk
unitlinked baru tahun depan, tetapi target yang ditetapkan tidak akan terlalu
besar. Jiwasraya akan lebih fokus kepada produk lain yang nilai preminya
dicatatkan utuh dalam pembukuan.Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan
(Bapepam-LK) berencana mengeluarkan pernyataan standar akuntansi keuangan
(PSAK) hasil konvergensi standar akuntansi internasional pada tahun 2012.
Menurut pejabat Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia, aturan ini diprediksi akan
mengurangi pendapatan premi industri asuransi jiwa tahundepan. Benny Waworuntu,
Direktur Eksekutif Asosiasi Asuransi Jiwa, mengatakan pada 2012 Bapepam-LK akan
menerapkan pencatatan PSAK yang memisahkan transaksi premi murni dan premi
investasi atau kontrak asuransi dan kontrak investasi. “Nantinya, kontrak
investasi atau premi investasi tidak lagi dicatatkan sebagai pendapatan premi
dalam laporan keuangan berdasarkan ketentuan yang baru,” kata Benny. Penurunan
pendapatan premi ini hanya akan berpengaruh terhadap laporan keuangan, namun
nilai pendapatan premi yang diterima perusahaan belum tentu terpengaruh. Selama
ini, pencatatn sesuai PSAK 28 dan PSAK 36 belum membedakan perolehan premi yang
masuk menurut pemaparan industri asuransi. Penurunan pendapatan premi ini akan
terjadi pada perusahaan-perusahaan yang banyak mengandalkan penjualan produk
unitlinked. Dalam ketentuan PSAK yang baru tersebut, pemisahan pencatatan
pendapatan premi dari kontrak asuransi dan kontrak investasi akan dilakukan
perusahaan asuransi sendiri. Benny menilai lebih baik Bapepam-LK yang melakukan
pemisahan ini agar terjadi pencatatan yang lebih objektif. “Saat ini, kami
masih duduk bersama dengan Dewan Standarisasi Akuntansi untuk membahas hal
ini,” kata dia. Isa Rachmatawarta, Kepala Biro Perasuransian Bapepam-LK,
mengatakan banyak peraturan yang akan dikeluarkan Bapepam-LK akhir tahun ini
atau awal tahun depan, termasuk ketentuan PSAK yang baru bagi perusahaan
asuransi. “Perusahaan asuransi harus siap-siap terhadap ketentuan aturan baru,”
kata Isa. Sebelumnya, Isa mengatakan pendapatan premi industri asuransi ke
depan bisa teridentifikasi, antara perolehan premi proteksi dengan premi
investasi. Saat ini, Ikatan Akuntansi Indonesia (IAI) masih membahas rancangan
PSAK yang mengadopsi International Financial Reporting Standard (IFRS) 4.
Regulator berkoordinasi dengan organisasi tersebut untuk melakukan konvergensi
IFRS 4. Standar Khusus Akuntansi untuk Asuransi Kerugian merupakan standar
akuntansi kedua yang khusus mengatur jenis badan usaha tertentu setelah
dikeluarkannya. Standar Khusus Akuntansi untuk Koperasi. Standar Khusus ini
disusun atas dasar kerja sama antara Ikatan Akuntan Indonesia dan PT. Asuransi
Jasa Indonesia. Asuransi sebagai suatu sistem proteksi atas risiko yang
dihadapi masyarakat dari kerugian yang bersifat finansial, membutuhkan
profesionalisme dari perusahaan asuransi yang mengelolanya. Yaitu dengan
menjaga kondisi keuangannya sedemikian rupa sehingga dapat memberikan
kepercayaan yang tinggi kepada masyarakat. Peranan asuransi dalam pembangunan
nasional tidak hanya dapat dilihat dari jumlah dana yang dapat di”himpun” dari
masyarakat, tetapi juga dari banyaknya pembayaran klaim yang dilakukan oleh
perusahaan asuransi. Industri Asuransi tahun 1983 sampai dengan 1985 mengalami
kesulitanvIndonesia
dalam karena antara lain: Menderita
kerugian yang cukup besar karena hasil
Stabilitas keuangan perusahaan asuransivunderwriting tidak memadai
Di bahkan minus. dalam pasar reasuransi internasionalvtidak terjamin. Untuk meningkatkan reputasivtidak
mempunyai reputasi yang cukup baik.
industri asuransi Indonesia, diperlukan: Adanya accounting standard yang
Peningkatan mutu produk dan pasar dalam industri asuransi.vberlaku
di Perusahaan asuransi di Indonesia relatif mengalami kelambatan dalam
perkembangan permodalan. Hal ini disebabkan berbagai keadaan yang belum memadai
untuk memungkinkan pengembangan permodalan tersebut. Dengan adanya suatu
Accounting Standard maka perhitungan hasil usaha menjadi lebih jelas, adanya
suatu accounting standard akan memberikan value added bagi industri asuransi
dan masyarakat yang akan memberikan dampak positip terhadap pembangunan
nasional.Industri asuransi nasional harus siap-siap beradaptasi dengan
pencatatan laporan keuangan baru. Karena Biro Perasuransian Badan Pengawas
Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) akan menerbitkan standar
akuntansi keuangan alias PSAK hasil konvergensi standar akuntasi internasional.
PSAK yang mencatat laporan keuangan perusahaan asuransi tersebut nantinya akan
membedakan transaksi premi murni (proteksi) dengan premi investasi. “Jadi,
pencatatan laporan keuangan tidak lagi berdasarkan entitas, melainkan
membedakan transaksi premi proteksi dan investasi. Dengan demikian, premi
industri asuransi ke depan bisa teridentifikasi, antara perolehan premi
proteksi dengan premi investasi. Karena PSAK yang mengatur keuangan perusahaan
asuransi, yakni PSAK 28 dan PSAK 36 belum membedakan perolehan premi yang masuk
dalam pemaparan akuntansi industri. Saat ini, Ikatan Akuntansi Indonesia (IAI)
masih menggodok rancangan PSAK yang mengadopsi International Financial
Reporting Standard (IFRS) 4. Regulator berkoordinasi dengan organisasi tersebut
melakukan konvergensi IFRS 4. “PSAK baru ini merupakan terjemahan dari IFRS 4,
kemungkinan terbit 2012 mendatang,” imbuh Isa. Member of Working Committee
Financial Reporting yang khusus dibentuk Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia
(AAJI), Iwan Pasila mengungkapkan, IFRS 4 yang bakal dirancang dalam PSAK 62
ini untuk membedakan pencatatan kontrak asuransi dan bukan kontrak asuransi.
Saat ini, pihaknya mengklaim, sepakat dan akan terus memberikan masukan kepada
IAI. Iwan menjelaskan, sebetulnya aturan pencatatan keuangan perusahaan
asuransi ini cukup baik mengikuti perkembangan standar internasional. “Tidak
bisa dipungkiri, belum seluruh pelaku industri siap. Apalagi, karena ketentuan
pencadangan. Ketentuan dengan metode berteknologi canggih ini belum bisa
diimplementasikan menyeluruh,” pungkasnya. Selain itu, banyak pekerjaan rumah
yang harus diberlakukan industri asuransi nasional. Misalnya, bagaimana
perusahaan asuransi beralih menyeragamkan pencatatan akuntansi yang biasa
dilakukannya dengan mengikuti standar internasional. Seperti, sistem pencatatan,
basis teknologi yang memadai, termasuk sumber daya manusia. Ketika
dikonfirmasi, Ketua AAJI Hendrisman Rahim mengaku belum mengetahui rancangan
PSAK yang mengatur pemisahan transaksi premi proteksi dan investasi tersebut.
Namun, Hendrisman mengungkapkan, pihaknya mendukung pencatatan akuntansi
perusahaan asuransi agar sesuai standar internasional. Vice President Asuransi
Aviva Indonesia, Albert Wanandi mengungkapkan hal senada. Ia mengatakan, belum
mengetahui rencana regulator mengadopsi IFRS 4. “Namun, secara prinsip, kami
mendukung pemisahan transaksi premi proteksi dengan investasi. Pencatatan
akuntansi perusahaan asuransi ini mencoba mengikuti.
Sumber :